Da'i Menyeru ke Neraka Jahanam

by admin aluyeah
Da'i Menyeru Ke Neraka Jahanam | al-uyeah.blogspot.com
“Aku heran dari (perbuatan) orang yang menjual kesesatan dengan petunjuk! Dan aku lebih heran dari orang yang membeli dunia dengan Agama”

Itulah kurang lebih ungkapan dua bait syair yang menggambarkan tentang keberadaan dua golongan pengacau da’wah dan perusuh di kalangan umat.

Mereka tiada lain adalah para bandit-bandit da’wah, yang dzahirnya berbicara tentang agama tetapi kenyataannya justru jauh memalingkan umat dari agama, mereka tiada lain adalah para calo-calo da’wah yang senantiasa mengabaikan dan menjual prinsip-prinsip agama demi untuk menggapai kelezatan dunia.

Sungguh mereka adalah orang-orang yang telah dinyatakan dalam sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, “Di malam hari saat aku isro’, aku melihat suatu kaum di mana lidah-lidah mereka dipotong dengan guntingan dari api” – atau ia (Rasulullah) berkata, “dari besi. Aku bertanya siapa mereka wahai Jibril? Mereka adalah para khatib-khatib dari umatmu!” (H.R. Abu Ya’la dari sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhuma).

Para pembaca -hadzanallahu wa iyyakum- mereka adalah para da’i dan ulama-ulama su’ yang telah Allah beberkan keberadaannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab. Dan mereka mengatakan ia (yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Q.S. Ali Imron: 78).

Dan Allah juga berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaithon (sampai dia tergoda) maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.

“Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Q.S. Al A’raf: 175-176).

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengistilahkan mereka ulama su’ dengan sebutan “para dai yang berada di tepi pintu-pintu neraka”. Beliau peringatkan kita dari keberadaan mereka sebagaimana dalam sabdanya, “… Dan sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku ialah para ulama-ulama yang menyesatkan.” (H.R. Abu Daud dari sahabat Tsauban radiyallahu'anhu).

Adapun sahabat Umar ibnul Khaththab beliau mengistilahkan mereka dengan sebutan “al munafiq al alim”, ketika ditanya maksudnya, beliau menjawab “aliimul lisaan jaahilul qolbi!” (pandai berbicara tetapi bodoh hatinya -tidak memiliki ilmu-).

Allah Ta'ala dan rasul-Nya tetap akan menjaga agama ini dari upaya penyesatan yang dilakukan oleh para ulama dan dai-dai sesat, sehingga kita dibimbing oleh Allah untuk senantiasa bersikap antipati dari seruan dan fatwa-fatwa mereka. Perhatikanlah peringatan-peringatan Allah berikut ini agar menjauh dan tidak mengikuti fatwa-fatwa mereka:

Pertama: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.” (Q.S. At Taubah: 34).

Kedua: “Hai orang-orang yang beriman jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir setelah kamu beriman.” (Q.S. Ali Imron: 100).

Ketiga: “… Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Q.S. Al Maidah: 49).

Keempat: “Dan demikianlah kami telah menurunkan Al Qur’an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap siksa Allah.” (Q.S. Ar Ra’d: 37).

Kelima: “Kemudian kami jadikanlah kamu berada suatu syari’at dan urusan agama, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al Jaatsiyah: 18).

Keenam: “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zhalim.” (Q.S. Al Baqoroh: 145).

Demikianlah dan semoga Allah Ta'ala menjaga dan membimbing kita ke jalan yang diridhoinya. Wallahul Muwaffaq.

Maraji:
– Al Quranul Karim
– Al Musnad Abu Ya’la 1/118 no. 1314
– Sunan Abi Daud 4/450
– Ishlahul Mujtama’ Al Imam Al Baihani

"Ulama yang justru menyesatkan"
Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari, Al Wala wal Bara Edisi ke-3 Tahun ke-1 / 20 Desember 2002 M / 15 Syawwal 1423 H
Salafy.or.id

Larangan Tasyabuh Dalam Berpakaian

by admin aluyeah
Larangan Tasyabuh Dalam Berpakaian | al-uyeah.blogspot.com
Seorang muslim tidak diperbolehkan memakai pakaian yang tasyabuh (menyerupai) orang kafir, baik ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun ‘ajam (Romawi dan Persia). Dalam prinsip agama Islam, kaum muslimin dilarang keras bersikap tasyabuh dengan orang kafir dalam hal ibadah, hari raya, pakaian, bahkan semua perkara, baik ushul maupun ahkam. Cukup banyak ayat yang melarang tasyabuh. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina”, tetapi katakanlah, “Unzhurna”, dan “Dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (al-Baqarah: 104)

Ibnu Katsir juga menegaskan tatkala menafsirkan surat al-Hadid ayat16, “Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wata’ala melarang kaum mukminin tasyabuh dengan mereka dalam segala urusan ushul dan ahkam.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4026 dengan sanad yang hasan. Lihat Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 203 karya al-Albani)

Al-Imam Muhammad bin ‘Amir ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan, siapa pun yang menyerupai orang fasik, orang kafir, atau ahli bid’ah, pada segala sesuatu yang menjadi kekhususan mereka, baik pakaian, kendaraan, maupun penampilan, dia termasuk golongan mereka.”

Para ulama berkata, “Apabila seseorang menyerupai orang kafir dalam hal pakaian dan meyakini bahwa dengan itu dia seperti orang kafir tersebut, dia kafir. Namun, apabila tidak ada keyakinan demikian, ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang berpendapat bahwa dia kafir, dan itu adalah zahir (teks) hadits. Ada pula yang berpendapat tidak kafir, hanya saja perlu diberi pelajaran.” (Subulus Salam 4/321 cet. I, Darul Fikr Beirut, 1992 M/1411 H)

Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengirim surat kepada salah seorang panglima perang Islam di Adzar Bailam bernama ‘Utbah bin Farqad. Di antara isi suratnya,

وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ أَهْلِ الشِّرْكِ

Janganlah kalian bermewah-mewah dan waspadailah model pakaian orang musyrik.” (Shahih Muslim no. 2069/12)

Dalam riwayat al-Isma’ili (al-Fath 11/465) dan Abu ‘Awanah al-Isfirayini (Syarah Muslim 14/41) dengan sanad yang sahih, kata an-Nawawi rahimahullah, disebutkan dengan lafadz,

وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ الْأَعَاجِم

“Janganlah kalian bermewah-wewah dan waspadailah model pakaian orang ‘ajam (Persia dan Romawi).”

Telah kita sebutkan sebelumnya hadits tentang larangan pakaian mu’ashfar yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa itu adalah pakaian orang kafir. A l – ‘ Allamah al – Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam kaset (no. 671) dari Silsilah al-Huda wan Nur menjelaskan tentang ketentuan tasyabuh yang dilarang. Beliau menyebutkan ada dua hal penting yang harus diperhatikan.

1. Semua tindakan orang kafir yang merupakan syiar khusus mereka diharamkan atas umat Islam untuk melakukan dan menggunakannya. Inilah larangan yang masuk di dalam hadits:

وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka.”

2. Apabila orang kafir melakukan sesuatu walaupun bukan syiar khusus mereka dan memungkinkan bagi umat Islam untuk menyelisihi mereka, wajib bagi kita menyelisihi mereka. Masalah satu ini yang jarang diperhatikan oleh para pencari ilmu bahkan oleh sebagian ulama, padahal

اَلْمُخَالَفَةُ شَيْءٌ وَتَرْكُ التَّشَبُّهِ شَيْءٌ أََخَرَ

Menyelisihi mereka adalah satu perkara, dan tidak tasyabuh dengan mereka adalah perkara yang lain.”

Coba simak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut!

إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لاَ يُصْبِغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ

Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidaklah mereka menyemir rambut, maka selisihilah mereka.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) (Lihat al-Fatwa min Ziinati binti Hawa hlm. 72—73, Ummu Salamah as-Salafiyah)

Di antara pakaian yang menjadi syiar dan lambang orang kafir adalah “jeans” yang dikenal dewasa ini, celana masa kini yang superketat, membentuk lekak-lekuk tubuh dengan sangat jelas. Ummu Salamah as-Salafiyah—salah seorang istri asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i pada masa hidupnya— dalam karyanya al-Fatwa fi Zinati binti Hawa (hlm. 71—74)

mengulas sejarah jeans mengutip dari sebuah situs berbahasa Prancis, www.anne.bourigve. com. Kesimpulannya, model ini adalah simbol dan lambang orang kafir. Maka dari itu, haram hukumnya dipakai oleh kaum muslimin terkhusus kaum hawa karena tasyabuh dengan orang kafir dan membentuk aurat. Lalu Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha membawakan fatwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin saat ditanya, “Didapati jenis kain yang disebut jeans, dibentuk dengan ragam motif untuk anak-anak, baik laki-laki maupun wanita. Bahan ini kuat. Yang menjadi masalah, bahan kain ini dipakai orang kafir dalam bentuk celana pantalon (celana panjang) ketat, dan itu diketahui dan masyhur.

Pertanyaannya, apakah menggunakan kain ini dengan ragam bentuk dan motif selain pantalon ketat, yakni digunakan karena kain dan kualitasnya, apakah termasuk tasyabuh?” Beliau menjawab, “Makna tasyabuh adalah seseorang melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Apabila dia menggunakan bahan kain tersebut atau bahan lainnya dengan sisi dan bentuk yang menyerupai pakaian orang kafir, termasuk tasyabuh. Namun, apabila semata-mata menggunakan bahannya dengan model lain yang berbeda dengan pakaian orang kafir, tidak masalah, selama menyelisihi cara orang kafir dalam berpakaian. Walaupun mereka dikenal dengan bahan tersebut, (tidak masalah) selama bentuk dan modelnya tidak seperti bentuk dan model yang dipakai oleh orang kafir.” (Majmu’atul as-Ilah Tahummu al-Usrah al-Muslimah)

Pakaian yang marak dipergunakan di zaman sekarang adalah pantalon. Apabila pantalon tersebut ketat dan sempit sehingga membentuk lekuk tubuh, hukumnya haram, sama seperti jeans, karena tasyabuh dengan orang kafir dan membentuk aurat. Al-‘Allamah Samahatul Mufti Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Kami menasihatkan agar pantalon tidak dipakai karena termasuk pakaian orang kafir….” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolat Mutanawwi’ah 9/43, lihat al-Mausu’ah al-Baziah fil Masail an-Nisa’iyah 3/1543 tartib al-‘Umran cet. Daar Ibnu Katsir KSA, 2010 M/1431 H)

Dalam kaset no. 6 dari Silsilah Huda wan Nuur, asy-Syaikh al-Albani ditanya tentang hukum memakai pantalon. Beliau menjawab, “Saya tidak mengatakan haram. Akan tetapi, saya katakan ‘makruh’ (dengan makna) haram untuk memerhatikan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebab, masalah ini dibangun di atas dalil yang mengharamkan bab tasyabuh, di sisi lain dibangun di atas kenyataan bahwa pantalon membentuk aurat.” (Lihat al-Fatwa fii Zinati binti Hawa hlm. 71)

Namun, apabila pantalon tersebut lapang dan lebar hingga tidak membentuk lekuk tubuh, biasa dikenal dengan sarawil atau sirwal, hukumnya diperbolehkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ

Siapa yang tidak mendapati sarung, silakan dia memakai sarawil.” (HR. al- Bukhari no. 1841 dan 5804) Suad bin Qais radhiyallahu ‘anhu berkata,

فَأَتَانَا رَسُولُ اللهِ فَسَاوَمَنَا سَرَاوِيلَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami lalu membeli sarawil dari kami.” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 3336, at-Tirmidzi no. 1305, an-Nasai no. 4606, dan Ibnu Majah no. 3579, dan ini adalah lafadz beliau)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath (11/448) menjelaskan, “Beliau tidak membelinya untuk urusan yang sia-sia walaupun beliau sering (terbiasa) memakai sarung.”

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Beliau membeli sarawil, zahirnya beliau membelinya untuk dipakai. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa beliau memakai sarawil.” (Zadul Ma’ad 1/139 cet. XXVII, ar-Risalah Beirut, 1994 M/1415 H)

Hadits yang menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memakai sarawil diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Pada sanadnya ada Yunus bin Ziad al-Basri, dia dhaif. (al-Fath 11/448, lihat pula Nailul Authar 2/102—103 karya asy-Syaukani rahimahullah)

Yang sunnah, demi menyelisihi ahli kitab pula, adalah memakai sarawil tertutup dengan sarung. Para sahabat Anshar pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ahli kitab memakai sarawil dan tidak memakai sarung.”

Beliau bersabda, “Pakailah sarawil dan sarung, selisihilah ahli kitab….” (HR. Ahmad 5/264 dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu secara makna riwayat ath-Thabarani rahimahullah. Hadits ini shahih lighairih, lihat Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 184—185 karya al-Albani)

Ringkasnya, pakaian ada tiga macam.

1. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar umat Islam, seperti jubah, gamis, serban, sarung, sarawil, jilbab, dan semisalnya. Umat Islam dianjurkan memakai dan memasyarakatkannya, di samping menunjukkan jati diri individunya, juga sebagai upaya islamisasi pakaian di tengah umat.

2. Pakaian yang menjadi lambang dan syiar orang kafir atau biasa mereka pakai dan memungkinkan umat Islam menyelisihinya, seperti seragam pendeta, biarawati, biksu, dan pakaian kebesaran lain dari umat non-Islam. Demikian pula jeans, pantalon, dan pakaian semisalnya yang menjadi ikon kebebasan orang kafir. Umat Islam diharamkan tasyabuh dengan mereka dalam hal ini dan diperintahkan menyelisihi mereka.

3. Pakaian yang bersifat umum yang dipakai oleh semua pihak dan tidak ada unsur pelanggaran syariat, seperti kemeja, kaos dalam, dan semisalnya. Umat Islam diperbolehkan memakainya karena hukum asalnya adalah boleh. Namun, mereka dianjurkan membedakan diri dengan orang kafir dengan tambahan pakaian Islam. Misalnya, kemeja dipadukan dengan sarung plus songkok, peci, atau serban. Wallahu a’lam.

Penulis : Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
AsySyariah.com

Keutamaan Pada Hari Jumat

by admin aluyeah
Keutamaan Hari Jumat | al-uyeah.blogspot.com
Sesungguhnya Dzat yang mencipta alam semesta dan yang mengatur jagat raya telah melebihkan atau mengistimewakan sebagian hari di atas hari-hari yang lain. Di antaranya adalah hari Jum’at, Allah Subhanahu wata’ala memerintah umat Islam untuk mengagungkannya dengan beragam  amalan yang disyariatkan. 

Padahal umat sebelum kita, dari kalangan Yahudi dan Nasrani, telah diperintah untuk mengagungkannya, namun mereka menyelisihinya. Orang Yahudi memilih hari Sabtu dan orang Nasrani memuliakan hari Minggu (Ahad).

Jum’at adalah salah satu nama hari dalam sepekan. Dalam bahasa Arab, bentuk penulisannya adalah ,الْجُمْعَةُ terambil dari kata ( الْجَمْعُ ) yang berarti mengumpulkan sesuatu yang terpencar. Adapun menurut para ahli qiraat, cara membacanya ada tiga: dengan didhammah huruf mimnya (اْلجُمُعَة), difathahkan (اْلجُمَعَة) atau disukun (اْلجُمْعَة). (Lihat al-Qamus al-Muhith, 3/14-15 dan Tafsir al-Qurthubi, 18/97)

Adapun tentang alasan dinamakan hari Jum’at, para ulama berbeda pendapat setelah mereka sepakat bahwa di masa jahiliah manusia menamakannya hari al-‘Arubah. Dalam Fathul Bari (2/353), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menyebutkan pendapat-pendapat ulama tersebut lalu menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa dinamakan hari Jum’at karena penciptaan Nabi Adam ‘alaihis salam terjadi pada hari tersebut.

Landasan pendapat ini adalah hadits Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Wahai Salman, apa itu hari Jum’at?” Salman menjawab, “Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali dan Salman selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Lantas Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

يَا سَلْمَانُ، يَوْمُ الْجُمُعَةِ بِهِ جُمِعَ أَبُوْكَ -أَوْ أَبُوْكُمْ- أَنَا أُحَدِّثُكَ عَنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ

Wahai Salman, hari Jum’at terkumpul padanya penciptaan bapakmu atau bapak kalian. Aku akan bercerita kepadamu tentang hari Jum’at.”(Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1732)

Hari Jum’at memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam syariat Islam dan mempunyai keistimewaan yang tidak ada pada hari-hari yang lain. Berikut beberapa keistimewaan hari Jum’at.

1. Hari raya umat Islam yang terulang-ulang setiap pekan

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada suatu Jum’at,

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ لَكُمْ عِيْدًا

Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya ini adalah hari yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala sebagai hari raya bagi kalian.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamash-Shaghir dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

2. Terjadinya hari kiamat pada hari Jum’at

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ

Sebaik-baik hari yang terbit matahari pada waktu itu adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga, dan dikeluarkan dari surga. Tidak akan terjadi kiamat selain pada hari Jum’at.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

3. Orang yang mati pada hari Jum’at atau malam Jum’at akan dihindarkan dari fitnah (pertanyaan) kubur

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

Tiada seorang muslim yang mati pada hari Jum’at atau malamnya kecuali Allah Subhanahu wata’ala akan menghindarkannya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dalam Ahkam al-Janaiz, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya hasan atau sahih dengan banyaknya jalan periwayatan)

4. Diharamkan menyendirikan puasa pada hari Jum’at tanpa dibarengi oleh puasa sehari sebelum atau setelahnya

Hal ini berlandaskan hadits Juwairiyyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kepadanya hari Jum’at dalam keadaan dia Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berpuasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu puasa kemarin?” Juwairiyah menjawab, “Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi apakah kamu ingin puasa esok hari?” Juwairiyah menjawab,“Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,“Berbukalah kamu!” (HR. al-Bukhari no. 1986)

5. Ada saat yang mustajab/dikabulkan bagi orang yang berdoa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hari Jum’at lalu bersabda,

فِيْهِ سَاعَةٌ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أعْطَاهُ إِيَّاهُ

Pada hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba muslim bertepatan dengannya dalam keadaan dia berdiri shalat yang ia meminta sesuatu kepada Allah Subhanahu wata’ala melainkan akan dikabulkan oleh-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 935)

Saat yang mustajab dari hadits ini diperselisihkan waktunya oleh ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan ada 42 pendapat. Dari pendapat sebanyak itu, yang dikuatkan oleh al-Hafizh ada dua, yaitu antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesai shalat Jum’at, dan pendapat yang kedua adalah setelah shalat ashar hingga tenggelamnya matahari. (Fathul Bari 2/416-420)

Setelah menyebutkan bukti-bukti bahwa saat yang mustajab itu setelah ashar, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, “Ini adalah pendapat mayoritas salaf, dan banyak hadits menunjukkan pendapat ini. Pendapat berikutnya adalah saat shalat Jum’at. Adapun pendapat selebihnya tidak ada dalilnya.

Al Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan, waktu yang dikhususkan adalah akhir waktu setelah ashar, yaitu waktu tertentu di hari Jum’at yang tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat Jum’at maka mengikuti shalat tersebut baik maju pelaksanaannya maupun mundur. Beliau menyebutkan bahwa berkumpulnya kaum muslimin, shalat mereka, kekhusyukan dan permohonan mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala, memiliki pengaruh kuat untuk dikabulkannya doa. (Zadul Ma’ad)

Masih banyak keistimewaan hari Jum’at yang tidak bisa ditampilkan seluruhnya di sini karena keterbatasan ruang. Ibnul Qayyim rahimahullah telah menyebutkan sekian puluh keistimewaan dalam kitabnya Zadul Ma’ad jilid pertama. Bahkan, as-Suyuthi rahimahullah menulis kitab khusus tentang keistimewaan hari Jum’at yang beliau beri judul Nurul Lum’ah fi Khashaish Yaumil Jumu’ah.

Hanya saja, orang yang membacanya perlu jeli dan hati-hati karena as-Suyuthi tidak hanya memuat hadits/atsar yang kuat tetapi juga yang lemah, bahkan maudhu’ (palsu). Wallahu a’lam.

Kajian Utama ” Keutamaan Hari Jum’at ”
Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
AsySyariah.com

Bukan Menantu Idaman

by admin aluyeah
Menantu Idaman | al-uyeah.blogspot.com
Mamen, saat ini banyak yang berebut menjadi menantu idaman. Mulai dari dokter, anak teknik, programer, guru, penulis hingga yang hafidz Quran semua mau diakui menjadi menantu idaman. Namun justru betapa inginnya menjadi bukan menantu idaman bagi kebanyakan manusia pada zaman saat ini. Menjadi yang terasing. Siapa mereka? Yaitu mereka adalah yang mengamalkan sunnah Rosulullaah Shallallahu'alaihiwasalam. Kenapa demikian? Perhatikan penjelasan berikut. Read men!

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kalian orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka.” (Hud: 116)

Sesungguhnya, al-Ghuraba di dunia ini adalah para penyandang sifat-sifat yang disebutkan oleh ayat tersebut. Merekalah yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam sabdanya:

Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali asing sebagaimana mulanya, maka beruntunglah al-Ghuraba’.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, siapakah al-Ghuraba’?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang melakukan perbaikan saat manusia rusak.” (HR. Ahmad)

Merekalah al-Ghuraba yang terpuji. Orang lain merasa iri terhadap kebaikannya. Karena begitu sedikitnya jumlah mereka di tengah masyarakat, disebutlah mereka dengan Ghuraba (orang-orang yang asing). Orang Islam di tengah manusia seluruhnya adalah asing.

Orang yang benar-benar beriman di tengah umumnya orang Islam adalah asing. Demikian pula, para ulama di tengah orang-orang yang benar-benar beriman adalah asing. Ahlus Sunnah yang benar-benar memilah sunnah dari bid’ah dan hawa nafsu, mereka juga al-Ghuraba.

Orang yang berdakwah mengajak kepada Sunnah Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan bersabar terhadap gangguan orang-orang yang menyelisihi mereka adalah orang yang paling asing. Akan tetapi, mereka itulah golongan Allah 'Azza wa Jalla yang sebenarnya sehingga mereka tidak asing lagi. Keasingan mereka hanyalah di tengah mayoritas.

Keasingan ada tiga macam. Yang pertama adalah keasingan golongan Allah 'Azza wa Jalla dan golongan Sunnah Rasul-Nya di tengah-tengah masyarakat. Itulah keasingan yang Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam memuji para penyandangnya. Ini pula yang beliau Shallallahu'alaihiwasalam beritakan tentang agamanya, agama ini “berawal dengan keasingan” dan akan “kembali dengan keasingan” serta “para pemeluknya menjadi orang-orang yang asing”.

Keasingan ini bisa jadi berada di satu tempat tertentu, di satu waktu tertentu, atau di satu kaum tertentu. Akan tetapi, penyandang keasingan ini adalah golongan Allah 'Azza wa Jalla yang hakiki.

Mereka tidak berlindung kepada selain Allah 'Azza wa Jalla, dan tidak bernasab (dalam ajaran agama) kepada selain Rasul-Nya serta tidak mengajak kepada selain kepada apa yang dibawa Rasul-Nya.

Di antara sifat al-Ghuraba tersebut adalah berpegang teguh dengan sunnah (ajaran Nabi Shallallahu'alaihiwasalam) ketika orang-orang merasa benci terhadapnya. Mereka meninggalkan apa yang diada-adakan manusia, walaupun hal itu populer di tengah masyarakat.

Mereka memurnikan tauhid walaupun mayoritas manusia mengingkarinya. Mereka tidak bernasab (dalam agama) kepada siapa pun selain Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya; tidak kepada syaikh tertentu, tarekat tertentu, mazhab tertentu, atau kelompok tertentu.

Al-Ghuraba hanyalah menyandarkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla — dengan beribadah hanya kepada-Nya — dan kepada Rasul-Nya — dengan mengikuti apa yang diajarkannya. Mereka itulah para pemegang bara api yang sebenarnya, dalam keadaan mayoritas manusia, bahkan seluruhnya, mencela mereka. Itu karena keasingan mereka di tengah umat. Mereka dianggap tidak lazim, membawa ajaran baru, dan tidak mengikuti umumnya manusia.

Islam yang benar — yang seperti itulah Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan para sahabatnya berada di atasnya — pada masa ini lebih asing daripada saat awal kemunculannya, walaupun simbol-simbol Islam itu tetap ada dan dikenal. Islam yang benar-benar sangat asing sekali. Para penyandangnya pun sangat asing di tengah-tengah manusia.

Bagaimana tidak sangat asing, satu kelompok di tengah 72 kelompok yang masing-masing memiliki pengikut dan pemimpin, kedudukan dan kekuasaan.

Bagaimana seorang mukmin yang berjalan menuju Allah 'Azza wa Jalla tidak asing di atas jalan sunnah Nabi Shallallahu'alaihiwasalam di tengah-tengah orang-orang yang mengekor kepada hawa nafsu, menganut selera rakus, dan bangga diri dengan pendapat masing-masing.

Maka dari itu, jika seorang mukmin — yang dikaruniai pemahaman oleh Allah 'Azza wa Jalla tentang agama-Nya, ajaran Rasul-Nya, dan kitab-Nya, serta dikaruniai pengetahuan tentang kondisi manusia beserta hawa nafsu, bid’ah, dan kesesatan mereka, serta jauhnya mereka dari jalan yang lurus yang Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan para sahabatnya berada di atasnya — berkeinginan menelusuri jalan lurus ini, hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menerima lontaran cacian orang-orang jahil dan ahli bid’ah, olok-olok, serta pengucilan mereka terhadap dirinya, sebagaimana orang kafir pendahulu mereka melakukan hal tersebut terhadap panutan dan imamnya (yakni Nabi Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam).

Dia asing dalam hal agamanya karena agama manusia rusak. Dia asing dalam hal keteguhannya memegang ajaran Nabi Shallallahu'alaihiwasalam karena keteguhan mereka dalam memegang bid’ah. Dia asing dalam hal keyakinannya karena keyakinan mereka telah rusak. Dia asing dalam hal shalatnya karena jeleknya shalat mereka. Dia asing dalam hal caranya karena kesesatan dan kerusakan cara mereka. Dia asing dalam hal penasabannya karena berbeda dengan penasaban mereka. Dia asing dalam hal pergaulannya dengan mereka karena dia bergaul dengan mereka tanpa mengikuti selera mereka.

Ringkasnya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya. Ia tidak mendapatkan ada yang membantunya dari kalangan orang-orang pada umumnya. Dia adalah orang yang berilmu di tengah orang bodoh, pemegang sunnah di antara penganut bid’ah, penyeru kepada jalan Allah 'Azza wa Jall dan Rasul-Nya di antara para penyeru kesesatan dan bid’ah, pelopor kebaikan, pencegah dari kemungkaran di tengah kaum yang menganggap hal yang baik sebagai mungkar dan hal yang mungkar sebagai sesuatu yang baik.

(ditulis oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyah)
("Orang-Orang Yang Terasing", diterjemahkan dan diringkas oleh al-ustadz Qomar Suaidi, Lc dari kitab Madarijus Salikin)

Sumber : AsySyariah.com

Diantara Sekian Kerusakan Perayaan Maulid Nabi

by admin aluyeah
Diantara Sekian Kerusakan Perayaan Maulid Nabi | al-uyeah.blogspot.com
Di dalam kitab beliau, Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh, Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan kerusakan dan penyimpangan acara peringatan Maulid Nabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: Kebanyakan orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid terjatuh pada perbuatan syirik, yakni ketika mereka menyanyikan bait-bait syair (nasyid-nasyid atau qosidah) pujian kepada Rasulullah shollahu ‘alaihi wa sallam dalam acara itu (yang sering di sebut sholawatan). Mereka mengatakan:

“Wahai Rasulullah, berilah kami pertolongan dan bantuan.
Wahai Rasulullah, engkaulah sandaran kami.
Wahai Rasulullah, hilangkanlah derita kami.
Tiadalah derita itu melihatmu, kecuali ia akan melarikan diri. “

Sungguh, seandainya saja Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam hidup dan mendengar nyanyian tersebut, tentu beliau akan menghukuminya dengan syirik besar (bahkan beliau pasti akan melarang mereka dari perbuatan tersebut). Mengapa? Karena pemberian pertolongan, tempat sandaran dan pembebasan dari segala derita hanyalah Allah Ta’ala saja.

Allah Ta’ala berfirman:

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah pula) yang menghilangkan kesusahan….”(QS. An-Naml: 62).

Allah Ta’ala memerintahkan Rasulullah shollahu ‘alaihi wa sallam agar menyampaikan kepada segenap manusia:

قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا

Katakanlah (Wahai Muhammad): “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak pula suatu kemanfaatan….” (QS. Al-Jin: 21).

Bahkan Nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam sendiripun bersabda (dalam rangka memberi nasehat kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan juga umat beliau lainnya):

Bila engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah). “ HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata: “Hadits ini Hasan Shohih”).

Kedua: Mayoritas perayaan maulid yang diadakan itu didalam terdapat sikap Al-Ithro’ (berlebih-lebihan) dan menambah-nambah dalam menyanjung (memuji) Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam. Padahal Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut dalam sabda beliau:

Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku tak lebih hanya seorang hamba, maka katakanlah (tentang aku) ‘Abdulllah (Hamba Allah) dan Rasul-Nya!’“ (HR. Al-Bukhari).

Kemudian dalam acara Maulid itu juga, sering dibacakan kitab Diba’ yang berisi sejarah perjuangan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam salah satu syair kitab ini menceritakan dan di yakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad sholallahu ‘alahi wa sallam dari cahaya-Nya, lalu Ia menciptakan segala sesuatu dari Nur Muhammad (cahaya Muhammad).

Sungguh ini adalah ucapan dusta. Sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu justru diciptakan Allah dengan perantara seorang bapak dan ibu. Beliau adalah manusia biasa yang dimuliakan dengan diberi wahyu oleh Allah.

Bahkan mereka juga menyenandungkan syair Diba’ yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini kerena Muhammad. Inipun juga ucapan dusta, karena Allah Ta’ala justru berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. “(QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Ketiga: Dalam acara perayaan atau peringatan maulid Nabi itu banyak terjadi ikhthilat, (bercampur laki-laki dan wanita dalam satu tempat, tanpa adanya hijab/tabir pemisah diantara mereka), padahal ini diharamkan dalam syariat agama kita.

Keempat: Dalam penyelenggaraan acara maulid Nabi ini, sering terjadi sikap tabzdir (pemborosan harta), baik untuk biaya dekorasi, konsumsi, transportasi dan sebagainya yang terkadang mencapai jumlah jutaan. Uang sebanyak itu habis dalam sekejap padahal mengumpulkannya sering dengan susah-payah, dan sesungguhnya hal itu lebih dibutuhkan umat Islam untuk keperluan lainnya, seperti membantu fakir-miskin, memberi beasiswa belajar bagi anak-anak yatim dan sebagainya.

Kelima: Waktu yang digunakan untuk mempersiapkan dekorasi, konsumsi dan transportasi sering membuat lengah atau lalai para panitia peringatan maulid, sehingga tidak jarang mereka sampai meninggalkan sholat berjamaah dengan alasan sibuk atau yang lainnya.

Dan tak jarang pula acara peringatan Maulid itu berlangsung hingga larut malam, akibatnya banyak di kalangan mereka tidak sholat Subuh berjamaah di masjid (karena bangun kesiangan) atau bahkan ada yang tidak Subuh sama sekali.

Keenam: Merayakan maulid (hari kelahiran) adalah sikap tasyabbuh (meniru atau menyerupai) orang-orang kafir. Mengapa? Lihatlah, orang-orang Nasrani punya tradisi memperingati natal (hari kelahiran) Isa Al-Masih, dan juga hari Natal atau ulang tahun setiap anggota keluarga mereka. Lalu, umat Islam pun ikut-ikutan merayakan bid’ah tersebut. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengingatkan kita:

Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. “(HR. Abu Dawud, shahih).

Ketujuh: Sudah menjadi tradisi dalam peringatan maulid itu, bahwa di akhir bacaan maulid, sebagian hadirin berdiri, karena mereka menyakini bahwa pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam hadir dalam majelis mereka. Sungguh ini adalah kedustaan yang nyata. Mengapa? Ya karena Allah Ta’ala berfirman:

وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Dan di hadapan mereka (orang-orang yang telah mati) ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan. “(QS. Al-Mu’minin: 100).

Yang dimaksud barzakh (dinding) pada saat tersebut adalah pembatasan antara dunia dan akhirat, sehingga tidak mungkin orang yang telah mati bangkit atau ruhnya yang bangkit.

Di samping itu, seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam masih hidup, tentu beliau tidak senang di sambut dengan cara berdiri menghormat beliau, sebagaimana dinyatakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Tetapi jika mereka melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak berdiri untuk (menghormati) beliau, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah membenci hal tersebut. “(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, shohih)

Maroji’:
Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

Sumber:
BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi: 15 / Robi’ul Awal / 1425
Salafy.or.id